Hal ini terkuak setelah melihat hasil presentasi sejumlah peneliti baik dari Asia-Pacific Cultural Centre For UNESCO (ACCU) Nara Jepang, perwakilan seluruh balai cagar budaya Indonesia dan perwakilan dinas pariwisata dan kebudayaan di regional Kalimantan.
Pertama di Rumah Adat Banjar Bubungan Tinggi. Pondasi bangunan banyak yang rusak dan rapuh. Bawah lantai lapuk baik itu di pedapuran, pelataran hingga anjungan. Lantainya pun miring. Begitu juga dengan tiangnya.
Sejumlah peneliti juga menyimpulkan bahwa kondisi langit-langit atau bawah atap tidak terawat. Apalagi setelah melihat adanya beberapa atap yang bocor. Lantas, papan dinding bangunan banyak terdapat lichen (lumut kerak). Berlubang dan lapuk. Ada beberapa ukiran bangunan yang patah. Namun catnya masih terlihat baik.
Hal serupa juga terlihat di rumah adat Banjar satunya yakni Gajah Baliku. Terdapat satu tiang pondasi yang pecah pada ujung bawah di dekat tanah. Sementara tiang lainnya miring dan melesak. Kondisi semakin terkesan tidak terawat setelah menemukan sarang burung sriti pada plafon teras. Praktis, bagian luar hampir semua berjamur. Atapnya pun bocor hampir di setiap ruangan.
Kondisi itu menurut Direktur ACCU Nara Jepang Nishimura Yasushi, perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah daerah dan juga pengelola bangunan. Ia beserta peneliti lainnya seperti Kobayashi Ken’ichi, Wakiya Kayoko, Shimomura Nobuhito, Takashina Masayuki, Takamiya Kunihiro dan Yamaguchi Isamu merekomendasikan sejumlah upaya dan menggelar evaluasi terkait pemugaran rumah adat Banjar tersebut.
Mulai dari bagian bawah yakni pondasi. Pembongkaran menurut dia adalah pilihan kedua. Saat ini yang patut dilakukan dengan mendongkrak bangunan, lantas melakukan amputasi terhadap pondasi.
“Pondasi kayu itu harus diganti. Paling murah ya dengan pendongkrakan. Memotong yang rapuh dan menggantinya dengan yang baru. Diusahakan dengan bahan yang sama, dan cara yang tradisional,” ucapnya.
Begitu pula dengan lantai, dinding dan atap. Jika dilakukan rehabilitasi, sebaiknya menggunakan bahan yang sama dan cara yang tradisional juga. Nishimura yang sudah empat kali datang ke lokasi mengaku, pernah melihat foto rumah adat Banjar sebelumnya. Ia pun kaget ketika melihat rumah adat Banjar sekarang yang memiliki halaman parkir dan titian cor beton. Ia tampaknya lebih senang melihat titian dua kayu ulin seperti dulu yang dikelilingi dengan persawahan.
“Dulunya tidak ada jalan seperti sekarang. Yang ada titian kayu ulin untuk menuju rumah adat Banjar. Saya pernah melihat fotonya. Kemudian parkirnya juga. Tapi ya sudahlah. Ada negatif, ada pula positifnya. Mungkin memikirkan supaya bis besar bisa parkir,” ungkapnya.
Menurutnya, perubahan besar yang mengurangi nilai sejarah itu hanya terjadi di sekitar kawasan bangunan rumah adat Banjar. Sementara struktur bangunannya tidak berubah.
Nishimura lantas mengusulkan agar fasilitas tambahan yang ada sekarang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah daerah. Misalnya ungkap dia, menggelar kegiatan kebudayaan dan lainnya. “Supaya lebih ramai saja di rumah adat Banjar. Sehingga banyak warga datang ke lokasi,” ucapnya.
Sumber : Radar Banjarmasin
Posted by 11.33 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar